Sejumlah peristiwa penghancuran
telah dibenarkan oleh berbagai penelitian arkeologis pada zaman modern.
Temuan-temuan ini secara jelas membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa yang di
kutip dalam Al-Qur’an benar-benar pernah terjadi. Temuan-temuan ini secara
jelas membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa yang dikutip dalam Al-Qur’an
benar-benar terjadi. Terdapat banyak contoh kisah tentang masyarakat pada waktu
lampau bagi orang-orang yang di karuniai kepahaman. Kehancuran mereka, yang disebabkan
penentangan mereka terhadap Allah dan penolakan terhadap perintah-Nya,
mengungkapkan betapa tidak berdayanya umat manusia di hadapan Allah swt.
“Dan betapa
banyak umat yang telah kami binasakan sebelum mereka, (padahal) mereka lebih
hebat kekuatannya daripada mereka (umat yang belakangan)ini. Adakah tempat
pelarian (dari kebinasaan bagi mereka)? (Q.S Az-Zariyat, 51: 36).
GELAR FIR’AUN
Dalam masa yang sama,
Negara-negara kota lainnya di Mesopotamia menganggap Peradaban Mesir Kuno dikenal
sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai Negara
terorganisasi dengan tatanan sosial paling maju pada zamannya. Sebagai bukti
mereka telah menggunakan tulisan sekitar abad ke-3 SM, serta memanfaatkan
Sungai Nil dan terlindungi dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan
kondisi alamiah negeri tersebut, karena itu Sungai Nil sangat berarti bagi
bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban mereka.
Kenyataan istilah” Fir’aun”
semula merujuk pada Istana Raja Mesir, namun perlahan-lahan menjadi gelar dari
raja-raja mesir. Itulah sebabnya raja yang memerintah Mesir kuno mulai
disebut”Fir’aun”. Raja Menes di kenal sebagai Fir’aun Mesir pertama yang
berhasil menyatukan seluruh Mesir Kuno untuk pertama kali dalam sejarah dalam
sebuah Negara kesatuan, kurang lebih abad ke-3 SM.
Fir’aun dianggap sebagai
penjelmaan dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir kuno yang politeitik dan
menyimpang. Administrasi tanah rakyat, pembagian pendapatan, hasil pertanian,
jasa dan produksi dikelola atas nama Fir’aun.
Namun pada pada masyarakat yang
beradab ini pula berlaku “pemerintah fir’aun”, suatu sistem kekafiran yang
paling jelas dan tegas di sebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka penuh kesombongan,
mengenyampingkan kebenaran, dan menghina Tuhan. Rakyat Mesir sangat memegang
kepercayaan akan kedewaan Fir’aun. Padahal sesungguhnya Fir’aun telah berlaku
sewenang-wenang lagi melampaui batas, lebih memilih kehidupan dunia serta
melupakan Tuhannya yang Maha Tinggi. Bahkan dia mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun beriman pada penghujung hidupnya. Ia
minta pengampunan yang di tolak oleh Allah (Q.S Gafir,40: 46-48). Peristiwa ini
menjadi peringatan manusia yang menunda kewajiban keagamaannya saat masih ada
kesempatan (hidup masih muda) akan mencapai tahap akhir kehidupannya (menjelang
ajal) yang saat itu iman dan pertaubatan menjadi tak berharga lagi. (Harun Yahya, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu,
2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar